Hendri Panggayuh
Jurusan Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana, Universitas Jendral
Soedirman
Abstrak
Peningkatan kemandirian daerah sangat erat
kaitannya dengan kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin
besar pula diskresi daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan
aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah. Peningkatan PAD tidak
hanya menjadi perhatian pihak eksekutif, namun legislatif pun berkepentingan
sebab besar kecilnya PAD akan mempengaruhi struktur gaji anggota dewan.
Beberapa usulan yang ditujukan untuk pemerintah
kabupaten untuk meningkatkan PAD, diantaranya: Meningkatkan kemampuan
ekonomi masyarakat dari sektor andalan, Adanya keseimbangkan insentif & disinsentif untuk menjamin
kepatuhan, Mengoptimalkan
peran legislative, Meningkatkan
Efisiensi pelayanan publik, Kendalikan
KKN dalam sistem pemungutan pajak dan retribusi, Meningkatkan jaminan keadilan bagi wajib pajak/retribusi, Adanya pembedakan kebijakan pajak
(tax) & retribusi (service charge) secara jelas, dan Meningkatkan kemampuan administrasi:
pendataan, analisis potensi, penetapan, penagihan, keberatan & dispensasi, pengawasan,
penegakan hukum
Kata kunci: Pendapatan Asli Daerah
Pendahuluan
Sebelum era reformasi harapan
pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan
kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh
dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantuan fiskal dan subsidi serta
bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Era reformasi memberikan
peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma
pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan
berimbang. Dikeluarkannya kedua UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan implikasi yang sangat mendasar yang
mengarah pada perlu dilakukannya reformasi sektor publik dan dipakainya
paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah. Dimensi reformasi sektor
publik tersebut tidak saja sekedar perubahan format lembaga, akan tetapi
mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya
lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan,
dan akuntabel sehingga cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governance benar-benar tercapai.
Salah satu tujuan pelaksanaan
otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi
ketergantuan fiskal terhadap pemerintah pusat. Pemerintah daerah yang selama
ini tergantung pada pemberian dana dari pemerintah pusat harus bersiap-siap
melakukan strategi pada keuangan daerah dan anggaran daerah. Keuangan daerah
adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan, dan kebijakkan
penganggaran yang meliputi pendapatan dan belanja daerah (Nogi, 2005:71),
sedangkan anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk
uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun) (Mardiasmo, 2004:9).
Hubungan antara keuangan dan
anggaran daerah sangat erat, karena sama-sama merupakan hal terpenting dalam
pemutusan suatu instrumen kebijakan. Anggaran daerah digunakan sebagai alat
untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan
keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang
akan datang, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua
aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitanya dengan pengelolaan keuangan
daerah pemerintah daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini ditinjau bukan
hanya dilihat pada besarannya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan
publik, tetapi juga dapat terlihat pada besarannya partisipasi masyarakat dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan keuangan daerah.
Peningkatan kemandirian daerah
sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka
semakin besar pula diskresi daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan
aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah. Peningkatan PAD tidak
hanya menjadi perhatian pihak eksekutif, namun legislatif pun berkepentingan
sebab besar kecilnya PAD akan mempengaruhi struktur gaji anggota dewan.
Meskipun pelaksanaan otonomi
daerah sudah dilaksanakan sejak 1 Januari 2001, namun hingga tahun 2009 baru
sedikit pemerintah daerah yang mengalami peningkatan kemandirian keuangan
daerah secara signifikan. Memang berdasarkan data yang dikeluarkan Departemen
Keuangan, secara umum penerimaan PAD pada era otonomi daerah mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan era sebelumnya.
Dalam rangka mengoptimalisasikan Pendapatan Asli Daerah, Kabupaten
Banyumas juga menjadikan sektor Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai
sumber keuangan yang paling diandalkan. Sektor Pajak Daerah tersebut meliputi
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Jalan, Pajak Pengambilan Dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C serta Retribusi
Daerah yang terdiri: Retribusi Jasa Umum antara lain Pelayanan Kesehatan dan
Pelayanan Persampahan, Jasa Usaha dan Retribusi Perijinan tertentu merupakan
sektor yang sangat besar untuk digali dan diperluas pengelolaannya.
Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian Daerah Kabupaten/Kota di
Indonesia dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari
sebagian kalangan birokrat di Daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang
menentukan kemandirian suatu Daerah di era Otonomi adalah terletak pada
besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Realitas mengenai rendahnya PAD di sejumlah Daerah pada masa lalu,
akhirnya mengkondisikan Daerah untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada
bantuan pembiayaan atau subsidi dana dari Pemerintah Pusat. Rendahnya
konstribusi pendapatan asli Daerah terhadap pembiayaan Daerah, karena Daerah
hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana Pajak dan retribusi yang
mampu memenuhi hanya sekitar 20%-30% dari total penerimaan untuk membiayai
kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70%-80% didrop dari pusat .
Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi
sumber dana Pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis
yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi Daerah
untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun
dari Retribusi Daerah.
Faktor yang amat penting dan mempengaruhi Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas dalam menetapkan target pendapatan asli daerah adalah situasi dan
kondisi perekonomian dan politik yang kondusif. Hal ini menjadi penting artinya
karena kedua hal ini dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang dan dapat
menentukan hitam-putihnya realisasi penerimaan
Permasalahan
Berdasarkan fenomena pada latar belakang maka
permasalahan pada makalah ini adalah bagaimana upaya kabupaten Banyumas
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah?
Landasan Teori
1. Konsep Keuangan Daerah
a. Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian
keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai
berikut: “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat
dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut”
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun
2005, tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah menjelaskan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dan tentunya
dalam batas-batas kewenangan daerah.
Keuangan daerah dituangkan sepenuhnya kedalam APBD.
APBD menurut Peraturan Pemerintah RI
No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya
disingkat APBD adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,
dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya
pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban
dan pengawasan keuangan daerah. Dalam konteks ini lebih difokuskan kepada pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh
DPRD.
b. Pengawasan
Keuangan Daerah
Pengawasan merupakan suatu rangkaian kegiatan
pemantauan, pemeriksaan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan kebijakan publik. Pengawasan dilakukan untuk menjamin semua kebijakan program dan
kegiatan yang dilakukan sesuai dengan aturan
yang berlaku. Pengawasan keuangan
daerah, dalam hal ini adalah pengawasan terhadap anggaran keuangan daerah/APBD. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal
42 menjelaskan bahwa DPRD mempunyai tugas dan
wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan
kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah dalam
melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.. Berdasarkan dari Undang-Undang
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
pengawasan keuangan daerah dilakukan oleh DPRD yang berfokus kepada pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD
wujudnya adalah dengan melihat, mendengar,
dan mencermati pelaksanaan APBD yang dilakukan oleh SKPD, baik secara langsung maupun berdasarkan
informasi yang diberikan oleh konstituen, tanpa masuk ke ranah pengawasan yang bersifat teknis. Apabila ada dugaan
penyimpangan, dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut:
- Memberitahukan kepada Kepala Daerah untuk
ditindaklanjuti oleh Satuan Pengawas
Internal.
- Membentuk pansus untuk mencari informasi yang lebih
akurat.
- Menyampaikan adanya dugaan penyimpangan kepada instansi
penyidik (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK).
Pengawasan anggaran meliputi seluruh siklus anggaran,
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pertanggungjawaban. Secara
sederhana pengawasan anggaran merupakan proses pengawasan terhadap kesesuaian
perencanaan anggaran dan pelaksanaannya dalam melaksanakan pembangunan daerah.
Pengawasan terhadap pelaksaanaan perlu dilakukan, hal ini bertujuan untuk
memastikan seluruh kebijakan publik yang terkait dengan siklus anggaran
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
berorientasi pada prioritas publik. Namun sebelum sampai pada tahap
pelaksanaan, anggota dewan harus mempunyai bekal pengetahuan mengenai anggaran
sehingga nanti ketika melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran,
anggota dewan telah dapat mendeteksi apakah ada terjadi kebocoran atau penyimpangan
alokasi anggaran
2. Manajemen Keuangan Daerah
a. Pengertian
Manajemen keuangan daerah merupakan bagian dari Manajemen
Pemerintahan Daerah, selain Manajemen Kepegawaian dan manajemen teknis
dari tiap-tiap instansi yang berhubungan dengan pelayanan publik, atau kita
sebut dengan Manajemen Pelayanan Publik dan Manajemen Administrasi Pembangunan
Daerah. Pengertian Manajemen keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar (2002)
adalah mencari sumber-sumber
pembiayaan dana daerah melalui potensi dan kapabilitas yang terstruktur melalui
tahapan perencanaan yang sistematis, penggunaan dana yang efisien dan efektif
serta pelaporan tepat waktu.
Manajemen Pelayanan Publik yang dimaksud adalah pencerminan pemberian
kewenangan wajib atas otonomi daerah dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari
antara lain: Pemerintahan Umum, Pertanian; Perikanan dan Kelautan, Pertambangan
dan Energi; Kehutanan dan Perkebunan; Perindustrian dan Perdagangan;
Perkoperasian; Penanaman Modal; Ketenagakerjaan; Kesehatan; Pendidikan dan
Kebudayaan; Sosial; Penataruangan; Pemukiman; Pekerjaan Umum; Perhubungan;
Lingkungan Hidup; Kependudukan; Olahraga; Keparawisataan; dan Pertanahan. Hal
ini, biasanya tercermin dengan adanya dinas-dinas daerah dan struktur
organisasi Pemda yang berkaitan dengan luas dan ruang lingkup tugas tersebut. Pengertian
keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar (2002) adalah “Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala
bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam
kerangka anggaran dan pendapatan dan belanja daerah (APBD)”.
Oleh karena itu, pengertian keuangan daerah selalu melekat dengan
pengertian APBD yaitu; suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan
pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi
daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dari definisi keuangan daerah
tersebut melekat 4 (empat) dimensi: (1) Adanya dimensi hak dan kewajiban; (2) Adanya
dimensi tujuan dan perencanaan; (3) Adanya dimensi penyelenggaraan dan
pelayanan publik; dan (4) Adanya dimensi nilai uang dan barang (investasi dan
inventarisasi).
Keterkaitan keuangan daerah yang melekat dengan APBD merupakan pernyataan
bahwa adanya hubungan antara dana daerah dan dana pusat atau dikenal dengan
istilah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dana tersebut terdiri dari dana
dekonsentrasi (PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan) dan dana
Desentralisasi. Dana dekonsentrasi berbentuk dana bagi hasil, dana alokasi
umum, dan dana alokasi khusus. Sedangkan yang dimaksud dana desentralisasi
adalah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD).
Tujuan keuangan daerah:
1)
Akuntabilitas
(Accountability)
Pemda harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau
orang yang berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara
lain, adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok
kepentingan lainnya (LSM);
2)
Memenuhi
kewajiban Keuangan
Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi
semua ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang;
3)
Kejujuran
Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai profesional dan jujur,
sehingga mengurangi kesempatan untuk berbuat curang.
4)
Hasil
guna (effectiveness) dan
daya guna (efficiency) kegiatan
daerah
Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan setiap program direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
dengan biaya serendahrendahnya dengan hasil yang maksimal.
5)
Pengendalian
Manajer keuangan daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus
melakukan pengendalian agar semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau
melalui akses informasi mengenai pertanggungjawaban keuangan.
b. Fungsi Manajemen Keuangan Daerah
Fungsi manajemen terbagi atas tiga tahapan utama, yaitu: adanya proses
perencanaan, adanya tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan pengendalian/
pengawasan. Oleh karena itu fungsi manajemen
keuangan daerah terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan tugas yang dapat
terdiri dari tugas:
1)
Pengalokasian potensi sumber-sumber
ekonomi daerah;
2)
Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;
3)
Tolok ukur kinerja dan Standarisasi;
4)
Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan
Prinsip-prinsip Akuntansi;
5)
Laporan Pertanggungjawaban Keuangan
Kepala Daerah; dan
6)
Pengendalian dan Pengawasan Keuangan
Daerah.
Angka
1 dan 2 merupakan bagian dari fungsi perencanaan dimana melekat pengertian
adanya partisipasi publik; Angka 3 dan 4 merupakan fungsi pelaksanaan dan Angka
5 dan 6 merupakan fungsi pengendalian dan pengawasan. Keseluruhannya akan
bermuara pada terciptanya sistem
informasi keuangan daerah yang
transparan dan akuntabel.
Dalam
arti sempit manajemen keuangan daerah merupakan tugas kebendaharawanan, dari
peran kas daerah atau bendahara umum daerah sampai dengan peran bendaharawan
proyek, bendaharawan penerima, bendaharawan barang. Secara garis besarnya, ada
dua hal tugas pokok atau bidang yang harus disadari bagi seorang manajer
keuangan daerah, yaitu: pekerjaan penganggaran dan pekerjaan akuntansi, dimana
dalam pelaksanaan keduanya berinteraksi dan saling melengkapi terutama dalam rangka
pengendalian dan pengawasan manajemen (Bidang Auditing). Secara aplikatif dua
tugas pokok tersebut terekam dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2000 tentang
“Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta
Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD”.
c. Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Secara garis besar, manajemen (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran
daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu
pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis
pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun
1999 menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut
antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi
anggaran.
Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan
dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974, proses
penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah
menurut UU No. 22 tahun 1999 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari
Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD
Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda).
Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional
budget ke performance budget. Traditional
budget merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara
berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a)
cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan
(b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain
yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c)
cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f)
menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan
ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan
untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam
memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak
tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang
dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan
anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional
adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money.
Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan
pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya
perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir
tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian
dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk
dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai sudut pandang,
metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1)
Hubungan yang tidak
memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka
panjang.
2)
Pendekatan incremental
menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh
efektivitasnya.
3)
Lebih berorientasi
pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak
dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya,
atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis
dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
4)
Sekat-sekat antar
departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai.
Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping,
kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
5)
Proses anggaran
terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
6)
Anggaran
tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu
pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong
praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
7)
Sentralisasi
penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan
lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget
padding atau budgetary slack.
8)
Persetujuan
anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk
pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan
’manipulasi anggaran.’
9)
Aliran informasi
(sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme
pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.
Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas
sebenarnya lebih banyak merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk
anggaran tradisional. Performance budget pada dasarnya
adalah sistem penyusunan dan manajemen anggaran daerah yang berorientasi pada
pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi
dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientsi pada
kepentingan publik. Merupakan kebutuhan masyarakat daerah untuk
menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan bertanggung jawab dan otonomi
daerah harus dipahami sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola
dan mengatur urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi
merupakan alat kepentingan pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah.
3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah
dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self
supporting dalam bidang keuangan. Sehubungan dengan pentingnya posisi
keuangan ini pemerintah daerah tidak
akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa
biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembanguna dan keuangan inilah
yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata
kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos Penerimaan
Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos Penerimaan Non
Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pendapatan
Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah. Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah:
meneliti, menentukan dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber
Pendapatan Asli Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola
sumber pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang
maksimal.
a. Dasar
hukum PAD
Seluruh kegiatan
dalam Pendapatan Asli Daerah diatur dalam
1)
UU No.32/2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah
2)
UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat-Daerah
3)
UU No.34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
4)
PP No.65/2000 tentang Pajak Daerah
5)
PP No.66/2000 tentang Retribusi Daerah
6)
Permendagri No.59/2007 tentang Sistem Pengelolaan
Keuangan Daerah
b. Komposisi
PAD
Komposisi pendapatan Asli daerah adalah Pajak Daerah, Retribusi, Laba
perusahaan daerah, dan pendapatan lain-lain yang sah. Di antara keempat sumber
tersebut pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber andalan PAD.
1)
Pajak daerah
Pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas
negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
investasi publik. Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan yang
ditetapkan sebagai badan hukum publik dalam rangka membiayai rumah tangganya.
Dengan kata lain pajak daerah adalah : pajak yang wewenang pungutannya ada pada
daerah.
Halim dalam Edison (2009:34)
menyatakan Pajak Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang berasal dari pajak. Lebih
lanjut Simanjuntak dalam Edison (2009:34) menyatakan bahwa Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dipungut oleh daerah-daerah seperti propinsi, kabupaten maupun
kotamadya berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasil
pemungutannya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerahnya
masing-masing. Kesit dalam Edison (2009:34) menyatakan bahwa Pajak Daerah merupakan
iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan undang-undang yang berlaku, yang hasilnya digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Wewenang mengenakan
pajak atas penduduk untuk membiayai layanan masyarakat merupakan unsur penting dalam
pemerintahan daerah. Diungkapkan oleh Devas et.al dalam Edison, (2009:35)
bahwa sistem perpajakan yang dipakai sekarang ini banyak mengandung kelemahan,
dan tampaknya bagian terbesar dari pajak daerah lebih banyak menimbulkan beban daripada
menghasilkan penerimaan bagi masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu melakukan perubahan
sistem pajak daerah merupakan langkah logis untuk langkah berikutnya.
Pembaharuan yang dilakukan
pemerintah misalnya dengan diterbitkannya UU No. 34 Tahun 2004 tentang pajak
dan retribusi sebagai perubahan UU No. 18 Tahun 1997. Dengan diberlakukannya
UU No. 34 Tahun 2004 ini jenis pajak daerah jumlahnya menjadi berkurang. Terakhir pemerintah
menerbitkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan tentang pembagian
hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) serta pembagian berbagai penerimaan Negara. Davey dalam Edison (2009:35) menjelaskan
bahwa keberhasilan dalam mengelola sumber-sumber penerimaan pajak daerah
tergantung pada kemampuan pemerintah daerah itu sendiri dalam mengoptimalkan faktor-faktor
yang turut menentukan keberhasilan tersebut. Devas et. Al dalam Edison, (2009:36) memberikan
penjelasan bahwa kemampuan menghimpun dana adalah perbandingan antara penerimaan dari
pajak dengan restribusi atau disebut dengan upaya (tax
effort)
Mardiasmo dkk dalam Edison, (2009:36)
mengungkapkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari
pemerintahan pusat, pemerintahan daerah perlu diberikan otonomi dan keleluasan daerah. Langkah
penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah adalah dengan
menghitung potensi penerimaan pajak daerah yang rill yang dimiliki oleh daerah
tersebut, sehingga bisa diketahui peningkatan kapasitas pajak (tax capacity) daerah. Peningkatan kapasitas pajak pada dasarnya adalah
optimalisasi sumber-sumber pendapatan daerah.
Menurut Undang-Undang nomor 18
tahun 1997 disebutkan bahwa pajak daerah adalah, yang selanjutnya disebut
pajak, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembengunan daerah. Pasal 2 ayat (1)
dan (2) didalam Undang –Undang nomor 18 tahun 1999 disebutkan bahwa jenis pajak
daerah yaitu :
a)
Jenis
pajak daerah Tingkat I terdiri dari : Pajak kenderaan bermotor, Bea balik nama
kenderaan bermotor, dan Pajak bahan bakar kenderaan bermotor
b)
Jenis
pajak dearah Tingkat II terdiri dari : Pajak hotel dan restoran, Pajak hiburan,
Pajak reklame, Pajak penerangan jalan, Pajak pengambilan dan pengelolaan bahan
galian golongan C, dan Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
Selanjutnya pasal 3 ayat (1)
dicantumkan tarif pajak paling tinggi dari masing-masing jenis pajak sebagai
berikut : Pajak kenderaan bermotor 5 %, Pajak balik nama kenderaan bermotor 10
%, Pajak bahan bakar kenderaan bermotor 5 %, Pajak hotel dan restoran 10 %, Pajak
hiburan 35 %, Pajak reklame 25 %, Pajak penerangan jalan 10 %, Pajak
pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C, Pajak pemanfaatan air
bawah tanah dan air permukaan 20 %.
Tarif pajak untuk daerah
Tingkat I diatur dengan peraturan pemerintah dan penetepannya seragam diseluruh
Indonesia. Sedang untuk daerah Tingkat II, selanjutnya ditetapkan oleh
peraturan daerah masing-masing dan peraturan daerah tentang pajak tidak dapat
berlaku surut. Memperhatikan sumber pendapatan asli daerah sebagaimana tersebut
diatas, terlihat sangat bervariasi.
2)
Retribusi
Pemungutan retribusi dibayar
langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan, dan biasanya dimaksudkan
untuk menutup seluruh atau sebagai dari biaya pelayanannya. Besarnya retribusi
seharusnya (lebih kurang) sama dengan nilai layanan yang diberikan. Menurut
Sumitro dalam Edison (2009:36) Retribusi ialah pembayaran pada negara yang
dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa. Lebih lanjut Syamsi dalam
Edison (2009:37) mengatakan bahwa: Retribusi
adalah iuran masyarakat tertentu (individu yang bersangkutan) yang ditetapkan
berdasarkan peraturan pemerintah yang prestasinya ditunjuk secara langsung, dan
pelaksanaannya dapat dipaksakan. Dengan kata lain yang lebih sederhana,
retribusi adalah pungutan yang dibebankan kepada seseorang karena menikmati
jasa secara langsung. Davey dalam Edison (2009:37) mengatakan bahwa Retribusi
merupakan sumber penerimaan yang sudah umum bagi semua bentuk Pemerintahan
Regional, restribusi tersebut mungkin juga merupakan sumber utama dari pendapatan
badan-badan pembangunan daerah. Sedangkan Redjo dalam Edison (2009:37)
berpendapat bahwa retribusi ialah suatu pembayaran dari rakyat kepada
pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan antara balas jasa yang
diterima langsung dengan adanya pembayaran retribusi tersebut, misalnya uang
langganan air minum, uang langganan listrik dan lain-lain. Koswara (2009:37)
menjelaskan bahwa retribusi daerah adalah imbalan atas pemakaian atau manfaat
yang diperoleh secara langsung seseorang atau badan atau jasa layanan,
pekerjaan, pemakaian barang, atau izin yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Simanjuntak dalam Edison (2009:37) menyatakan bahwa retribusi daerah merupakan
iuran rakyat kepada pemerintah berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan mendapat jasa balik atau kontra prestasi dari pemerintah
yang secara langsung ditunjuk Mengenai potensi Retribusi Daerah, Koswara dalam
Edison (2009:38) memaparkan bahwa seperti halnya dengan pajak daerah, hanya
dengan beberapa jenis retribusi yang secara efektif berperan sebagai sumber pendapatan
daerah. Walaupun demikian Devas et. Al dalam Edison, (2009:38) mengatakan bahwa
Retribusi merupakan sumber pendapatan yang sangat penting dan hasil retribusi
hampir mencapai setengah dari seluruh pendapatan daerah. Dalam dimensi potensi
daerah yang demikian itu, pemerintahan daerah hendaknya dapat mengembangkan
inisiatif dan upaya untuk meningkatkan penerimaan Retribusi Daerah. Upaya ini
antara lain dilakukan dengan cara memberikan pelayanan publik secara profesional
dan mampu memberikan kepuasan kepada setiap penerimaan pelayanan.
Davey dalam Edison (2009:38)
mengungkapkan beberapa pendapat mungkin akan timbul pada elastisitas retribusi
yang harus responsive kepada pertumbuhan penduduk dan pendapatan. Hal ini
umumnya dipengaruhi oleh pertumbuhan permintaan atau konsumsi akan suatu
pelayanan. Dalam konteks yang demikian itu, pengelolaan sumber-sumber PAD dari jenis
retribusi tentu mempunyai konsekwensi yang harus dipikirkan oleh pemerintah
daerah. Artinya pemerintah daerah tidak boleh memikirkan bagaimana memperoleh
pendapatan yang sebesar-besarnya dari pemungutan retribusi, tetapi pemerintah
daerah bertanggungjawab atas konsekuensi pemungutan retribusi tersebut.
Sedangkan jenis-jenis retribusi
yang diserahkan kepada daerah Tingkat II menurut Kaho berikut ini: Uang leges, Biaya
jalan/jembatan/tol, Biaya pangkalan, Biaya penambangan, Biaya potong hewan, Uang
muka sewa tanah/bangunan, Uang sempadan dan izin bangunan, Uang pemakaian tanah
milik daerah, Biaya penguburan, Biaya pengerukan wc, Retribusi pelelangan uang,
Izin perusahaan industri kecil, Retribusi pengujian kenderaan bermotor, Retribusi
jembatan timbang, Retribusi stasiun dan taksi, Balai pengobatan, Retribusi
reklame, Sewa pesanggrahan, Pengeluaran hasil pertanian, hutan dan laut, Biaya
pemeriksaan susu dan lainnya, dan Retribusi tempat rekreasi.
Dari uraian diatas dapat kita
lihat pengelompokan retribusi yang meliputi: Retribusi jasa umum, yaitu :
retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan,
dan Retribusi jasa usaha, yaitu : retribusi atas jasa yang disediakan oleh
Pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya disediakan oleh
sektor swasta.
3)
Laba perusahaan daerah
Dalam usaha menggali sumber
pendapatan daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, selama tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu
sumber pendapatan asli daerah yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian
khusus adalah perusahaan daerah. Menurut Wayang dalam dewi (2004:4) mengenai perusahaan
daerah sebagai berikut: Perusahaan Daerah adalah kesatuan produksi yang
bersifat: Memberi jasa, Menyelenggarakan pemanfaatan umum, Memupuk pendapatan. Tujuan
perusahaan daerah untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya
dan pembangunan kebutuhan rakyat dengan menggutamakan industrialisasi dan
ketentraman serta ketenangan kerja menuju masyarakat yang adil dan makmur. Perusahaan
daerah bergerak dalam lapangan yang sesuai dengan urusan rumah tangganya
menurut perundang-undangan yang mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi daerah dan mengusai hajat hidup orang banyak di
daerah, yang modal untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.
4)
Pendapatan lain-lain yang sah
Jenis lain-lain Pendapatan
Asli Daerah yang Sah sesuai UU No. 33 Tahun 2004 disediakan untuk menganggarkan
penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis Pajak Daerah, Retribusi
Daerah, dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dirinci menurut
obyek pendapatan yang antara lain: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
secara tunai atau angsuran/cicilan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan
atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk
lain sebagaimana akibat dari penjualan atau pengadaan barang dan jasa oleh
daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing.
Pembahasan
1.
Gambaran umum kondisi daerah
Wilayah Kabupaten Banyumas merupakan
bagian dari Propinsi Jawa Tengah yang berada di sebelah barat daya propinsi
ini. Terletak di antara 108 " 39` 17`` - 109" 27` 15`` bujur timur
& di antara 7" 15` 05`` - 7" 37` 10`` lintang selatan, yang
berarti berada di belahan selatan garis khatulistiwa.
Batas-batas Kabupaten Banyumas adalah
:
Sebelah
Utara : Gunung Slamet, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang.
Sebelah
Selatan : Kabupaten Cilacap
Sebelah
Barat : Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes
Sebelah
Timur : Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan
Kabupaten Banjarnegara
Luas wilayah Kabupaten Banyumas
sekitar 1.327,60 km2 atau setara dengan 132.759,56 ha, dengan keadaan wilayah
antara daratan & pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari
sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, sebagian dataran tinggi
untuk pemukiman & pekarangan, dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan
hutan tropis terletak dilereng Gunung Slamet sebelah selatan.
Bumi & kekayaan Kabupaten
Banyumas masih tergolong potensial karena terdapat pegunungan Slamet dengan
ketinggian puncak dari permukaan air laut sekitar 3.400m & masih
aktif. Keadaan cuaca & iklim di Kabupaten Banyumas karena tergolong di
belahan selatan khatulistiwa masih memiliki iklim tropis basah. Demikian juga
karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari permukaan pantai/lautan
maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak, namun dengan adanya dataran
rendah yang seimbang dengan pantai selatan angin hampir nampak bersimpangan
antara pegunungan dengan lembah dengan tekanan rata-rata antara 1.001 mbs,
dengan suhu udara berkisar antara 21,4 derajat C - 30,9 derajat C.
2.
Kemungkinan peningkatan Pendapatan Asli daerah
Kabupaten Banyumas
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten
Banyumas dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, tetapi Perananya terhadap APBD
masih tergolong kecil. Kontribusi
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyumas terhadap APBD-nya, dalam kurun waktu
lima tahun anggaran terakhir (2005 s/d 2009), digambarkan
pada tabel 1 dibawah ini :
Tabel 1
Peranan PAD terhadap APBD Kabupaten Banyumas Tahun
Anggaran 2005 s/d 2009
No
|
Tahun
Anggaran
|
PAD
(Rp)
|
APBD
(Rp)
|
Persentase
|
1.
|
2005
|
37.499.524.000
|
396.650.205.411,00
|
7,47 %
|
2.
|
2006
|
38.897.109.000
|
460.232.323.000,00
|
8,45 %
|
3.
|
2007
|
43.279.254.000
|
496.815.803.215,00
|
8,71 %
|
4.
|
2008
|
52.983.604.900
|
536.408.614.255,00
|
9,9 %
|
5.
|
2009
|
68.835.633.400
|
759.020.071.390,00
|
9 %
|
Rata –
rata
|
8,7 %
|
Sumber: BPS Kab. Banyumas, 2009
Terlihat pada tabel diatas peranan
PAD terhadap APBD masih tergolong kecil yaitu kurang dari 10%. Tabel 1
memperlihatkan peranan PAD yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun. Jika di TA 2005 persentase 7,47% atau sebesar Rp37.499.524.000,- hingga 9,9% pada TA 2008,
tetapi untuk TA 2009 terdapat penurunan sebesar 0,9% menjadi 9,9%.
Untuk TA 2011 bersumber dari APBD
2011 dapat diuraikan bahwa besaran PAD
Rp172.488.000.000,- terdiri dari Rp38.106.000.000,- yang berasal dari pajak
daerah, Rp39.106.000.000,- berasal dari retribusi daerah, Rp6.670.000.000, dan
Rp88.045.000.000,- berasal dari lain-lain pendapatan yang sah. Hal ini berarti sumbangan pajak
terhadap APBD Kabupaten Banyumas tahun 2011 mencapai 70%, Pendapatan dari
sektor pajak tersebut digunakan untuk pembayaran gaji PNS, TNI, dan POLRI,
pembangunan sarana pelayanan umum (puskesmas, pasar, jalan), program
pengentasan kemiskinan dan lain-lain. Dengan
melihat PAD dari tahun ke tahun dapat disimpulkan bahwa pemerintah Kabupaten
Banyumas sudah memperlihatkan kinerjanya untuk meningkatkan PAD dari beberapa
sektor seperti pajak daerah maupun retribusi daerah.
Adapun beberapa alternative untuk
menunjang peningkatan PAD yang biasa dilakukan oleh beberapa kabupaten di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Intensifikasi dan Ekstensifikasi
PAD
Dalam lima tahun mendatang, kemampuan
keuangan Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia akan ditingkatkan dengan
mengandalkan pada Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan
retribusi dan Pajak Daerah. Namun demikian, kekuatan pembaharuan yang
diajukan sebagai strategi barunya adalah pada aksentuasi manajemen
pengelolaan dan audit kinerjanya.
b. Pengembangan Kerjasama
dalam Menggali PAD
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pembiayaan
penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan di Daerah, akan dikembangkan
strategi baru yang tidak semata berorientasi pada intensifikasi maupun
ekstensifikasi retribusi dan Pajak Daerah.
c. Pembentukan Perseroan
Daerah
Strategi ketiga pengembangan
kemampuan keuangan Daerah ialah dilakukan dengan memformulasikan
regulasi-regulasi ekonomi baru terutama mengarah pada pembentukan berbagai
perseroan Daerah serta merevitalisasi badan usaha Daerah yang sudah ada.
d. Penerbitan Obligasi dan
Pinjaman Daerah
Disamping strategi konvensional
pemungutan retribusi dan Pajak Daerah, kemampuan keuangan Daerah akan
dikembangkan melalui bursa obligasi Daerah (Municipal Bond).
e. Kebijakan Umum Anggaran
Kebijakan umum penganggaran yang
dicanangkan Pemerintah derah untuk lima tahun ke depan ditujukan untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem penganggaran Daerah sesuai
dengan Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Strategi yang lain untuk meningkatkan
PAD dapat dilihat dari suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti
yang ditulis oleh Norhayati dalam blognya menjelaskan beberapa kebijakan yang
dimaksud, diantaranya:
a.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat
Dari beberapa gambaran kondisi elemen
pembentuk PAD di Indonesia seperti yang diuraikan di atas, sekiranya harapan di
era otonomi untuk mencapai kemandirin daerah ternyata masih merupakan mimpi
indah yang masih harus dibangun kembali oleh bangsa Indonesia. Banyak realitas
di lapangan yang menunjukkan bahwa daerah seperti kebingungan di dalam
menyikapi tuntutan otonomi. Filosofi dasar otonomi untuk mendekatkan pelayanan
kepada tingkat pemerintahan paling bawah justru disikapi sebaliknya. Untuk
beberapa daerah yang terbilang siap secara sumber daya alam maupun sumber daya
manusia, otonomi benar – benar menjadi arena pembuktian bahwasanya mereka
sanggup untuk mengelola daerahnya sendiri dengan mengurangi campur tangan
pusat. Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di Indonesia belum memiliki
prasyarat kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka justru tenggelam di dalam
euforia otonomi itu sendiri.
Banyak kebijakan yang bersifat
merugikan dan sangat prematur hanya demi mengejar otonomi versi mereka.
Karenanya peran pusat dirasa masih sangat diperlukan dewasa ini. Hanya saja ada
beberapa elaborasi dan penyesuaian di beberapa aspek sehingga peran pemerintah
itu nantinya juga tetap berada dikoridor hukum, selaras dengan napas otonomi
daerah. Peran tersebut antara lain berupa penciptaan kondisi yang kondusif bagi
perkembangan pajak dan retribusi dengan tetap memperhatikan landasan hukum yang
sudah disepakati bersama. Kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah pusat
dapat dibagi menjadi kebijakan dari sisi penciptaan pajak baik ekstensifikasi
maupun intensifikasi pajak dan retribusi serta kebijakan dari sisi
penggunaannya.
b.
Kebijakan dari sisi penciptaan
Penyerahan beberapa pajak dan
retribusi yang masih dipegang oleh Pusat kepada Daerah dengan tetap
mempertimbangkan faktor efisiensi ekonomi, mobilitas obyek pajak serta fungsi
stabilitasi dan distribusi pajak itu sendiri. Adapun pajak-pajak tersebut
antara lain: PBB dan BPHTB dapat dialihkan ke Daerah dimana Daerah diberi
wewenang untuk menetapkan dasar penggenaan pajak dan tarif sampai batas
tertentu meskipun adminstrasinya masih dilakukan oleh Pusat, dan Pajak
Penghasilan (PPh) orang pribadi yang sekarang dibagi hasilkan, dapat dialihkan dalam
bentuk piggy back dimana Daerah seyogyanya diberikan wewenang untuk mengenakan
opsen sampai batas tertentu di bawah wewenang penuh Pemerintah Kab/Kota.
Memberikan batas toleransi maksimum terhadap
pembatalan penciptaan pajak dan retribusi baru oleh Daerah selama kurun waktu
tertentu. Misalnya jika selama 1 tahun Daerah telah mencapai batas toleransi
jumlah Perda yang dibatalkan maka Daerah tersebut tidak dapat mengajukan
permohonan Perda penciptaan pajak dan retribusi baru. Ini juga terkait dengan
usulan revisi UU No. 34 tahun 2000 butir yang memberikan kesempatan Daerah
untuk menciptakan jenis pajak dan retribusi baru.
Memperluas basis penerimaan pajak
melalui identifikasi pembayar pajak baru/potensial serta meningkatkan efisiensi
dan penekanan biaya pemungutan. Diharapkan biaya pengenaan pajak jangan sampai
melebihi dana yang dapat diserap dari pajak itu sendiri.
c.
Kebijakan dari sisi pemberdayaan BUMD
Pemberdayaan BUMD sebagai salah satu
alternatif sumber pembiayaan daerah dapat ditempuh melalui strategi:
Reformasi Misi BUMD :
1)
BUMD sebagai salah satu pelaku ekonomi daerah dapat
mendayagunakan aset daerah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat;
2)
BUMD adalah penyedia pelayanan umum yang menjaga kualitas,
kuantitas dan kontinuitas pelayanan;
3)
BUMD mampu berperan sebagai pendukung perekonomian
daerah dengan memberikan kontribusi kepada APBD, baik dalam bentuk pajak maupun
deviden dan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah melalui multiplier effect yang tercipta dari
kegiatan bisnis yang efisien seperti bertambahnya lapangan kerja dan kepedulian
sosial;
4)
BUMD mampu berperan sebagai countervailing power terhadap kekuatan ekonomi yang ada melalui
pola kemitraan. Diharapkan berbagai perusahaan swasta dalam dan luar negeri
berminat melakukan kerjasama dengan BUMD terpilih untuk selanjutnya membentuk Joint Venture/Joint Operation Company
(JV/OC).
Restrukturisasi BUMD
Langkah-langkah untuk meningkatkan
kinerja dan kesehatan BUMD, yaitu tindakan yang ditujukan untuk membuat setiap
BUMD menghasilkan laba termasuk mengubah mekanisme pengendalian oleh Pemerintah
Daerah yang semula kontrol secara langsung melalui berbagai bentuk perizinan,
aturan, dan petunjuk menjadi kontrol yang berorientasi kepada hasil. Artinya Pemerintah
Daerah selaku pemegang saham hanya menentukan target kuantitatif dan kualitatif
yang menjadi performance indicator yang harus dicapai oleh manajemen, misalnya
Return On Equity (ROE) tertentu yang didasarkan kepada benchmarking kinerja
yang sesuai dengan perusahaan sejenis;Pengkajian secara komprehensif terhadap
keberadaan BUMD, karena selama ini BUMD dianggap kurang tepat bila disebut
sebagai lembaga korporasi, khususnya, dikaitkan dengan upaya pemberdayaan BUMD
agar dapat menjadi salah satu sumber keuangan daerah;
Restrukturisasi BUMD dengan prinsip Good Corporate Governance dapat
dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok yaitu :
1)
Kelompok BUMD PDAM dimana tersedia berbagai pilihan
restrukturisasi Perusahaan yang dapat dilakukan tergantung permasalahan yang
dihadapi dan potensi yang tersedia;
2)
Kelompok BUMD Non PDAM, dapat diselesaikan secara kasus
per kasus dengan berbagai pilihan sesuai dengan visi pengelolaan BUMD yang
bersangkutan.
Profitisasi BUMD
Profitisasi BUMD dalam rangka
menghasilkan keuntungan atau laba serta memberikan kontribusi pada Pemerintah
Daerah yaitu dapat dilakukan sebagai berikut :
1)
Melakukan proses penyehatan perusahaan secara
menyeluruh dengan meningkatkan kompetensi manajemen dan kualitas Sumber Daya
Manusia;
2)
Mengarahkan BUMD untuk dapat berbisnis secara terfokus
dan terspesialisasi dengan pengelolaan yang bersih, transparan dan
professional;
3)
Bagi BUMD yang misi utama untuk pelayanan publik dan
pelayanan sosial, diberikan sasaran kuantitatif dan kualitatif tertentu;
4)
Memberdayakan Direksi dan Badan Pengawas yang dipilih
dan bekerja berdasarkan profesionalisme melalui proses fit and proper test;
5)
Merumuskan kebijakan yang diarahkan kepada tarif yang
wajar, kenaikan harga produk (minimal menyesuaikan dengan inflasi, tarif
listrik, BBM, dan lain-lain) untuk menghindarkan biaya produksi yang jauh lebih
mahal, sehingga profit dapat diraih.
Privatisasi BUMD
Privatisasi utamanya bertujuan agar
BUMD terbebaskan dari intervensi langsung birokrasi dan dapat mewujudkan
pengelolaan bisnis yang efisien, profesional dan transparan. Diharapkan setelah
melalui tahapan restrukturisasi, pihak perusahaan swasta akan berminat
mengembangkan usaha dengan cara melakukan aliansi strategis dengan BUMD, dan
bila memungkinkan untuk BUMD yang sehat dan memiliki prospek bisnis dapat
menawarkan penjualan saham melalui Pasar Modal yang didahului Initial Public
Offering (IPO). Penataan dan penyehatan BUMD yang usahanya bersinggungan dengan
kepentingan umum dan bergerak dalam penyediaan fasilitas publik ditujukan agar
pengelolaan usahanya menjadi lebih efisien, transparan, profesional. Hubungan
kemitraan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama usaha yang saling menunjang
dan menguntungkan antara koperasi, swasta, dan BUMD, serta antara usaha besar,
menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional. Bagi BUMD
yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk
privatisasi melalui pasar modal.
BUMD infrastruktur tentunya harus
dikelola secara profesional sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan dan mampu
menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan berbagai pihak operator
swasta dan Pemerintah Daerah. Aliansi Stragis dengan operator swasta sangat
dibutuhkan untuk mengisi peluang usaha telekomunikasi yang kompetitif pada segmen
pasar tertentu. Sebagai konsekuensi logis implementasi otonomi daerah, maka
peranan Pemerintah Daerah sebagai salah satu stakeholder mempunyai pengaruh
yang cukup signifikan dalam penentuan arah kebijakan publik di daerahnya. Untuk
itu perlu dikaji lebih mendalam pengembangan kerjasama Pemerintah Daerah dengan
pihak swasta, baik langsung maupun melalui BUMD dalam dalam rangka menjalin
hubungan kemitraan yang saling menguntungkan. Untuk memelihara sense of
belonging, daerah/BUMD dan masyarakat dapat diberi peluang untuk memiliki
sebagian saham BUMN tertentu yang berusaha di daerahnya sehingga merasa ikut
memiliki dan turut bertanggung jawab atas keberhasilan usahanya. Dalam upaya
optimalisasi sumber-sumber pembiayaan dan investasi bagi daerah otonom, diperlukan
dukungan pemerintah dalam berbagai bentuk pembinaan dan pengawasan di berbagai
bidang.
d.
Kebijakan Dari Sisi Penggunaan
1)
Meningkatkan mekanisme kontrol dari masyarakat dan LSM
terhadap pelaksanaan pengelolaan keuangan Daerah sebagai wujud nyata pelaksanaan
asas transparansi dan akuntabilitas fiskal.
2)
Memberikan arahan yang jelas tentang alokasi anggaran
terhadap sumber - sumber penerimaan baik PAD maupun transfer pusat. Adapun
peran pusat hanya sekedar memberikan arahan tentang hal yang seyogyanya
dilakukan oleh Daerah. Semua keputusan tentang mekanisme pelaksanaan alokasi
anggaran sepenuhnya menjadi kewenangan daerah sesuai dengan nafas otonomi itu
sendiri. Adapun aturan alokasi tersebut misalnya: PAD sampai prosentase
tertentu digunakan untuk pembayaran gaji pokok aparat Daerah dengan memberikan
standar yang sama di seluruh Indonesia. Untuk beberapa Daerah yang memiliki PAD
tinggi dan kelebihan setelah digunakan untuk pembayaran gaji pokok dapat
dimanfaatkan sebagai kekayaan Daerah. Sementara DAU yang diterima sampai
prosentase tertentu digunakan untuk dana operasional (tunjangan) aparat Daerah,
pelayanan publik yang bersifat intangible serta proyek pembangunan jangka
pendek. Sementara DAK diarahkan untuk mensukseskan program nasional yang
bersifat prioritas serta pencapaian Standar Pelayanan Minimal di masing-masing
Daerah. Sementara untuk proyek pembangunan Daerah jangka panjang diarahkan pada
sumber dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan melalui Propinsi dan Menteri
Teknis.
3.
Hambatan dalam meningkatkan Pendapatan Asli daerah
Kabupaten Banyumas
Dalam prosesnya strategi peningkatan
PAD masih terdapat beberapa hambatan, diantaranya:
a.
Hambatan dari luar, diartikan hambatan yang berasal
dari luar pemerintahan Kabupaten Banyumas, diantaranya:
1)
Peraturan Perundang-undangan yang masih belum berpihak
pada pemerintah daerah.
2)
Masih adanya efek dari krisis ekonomi yang melanda
Indonesia
3)
Belum stabilnya sistem sosial politik yang ada
4)
Keseimbangan jumlah penduduk
5)
Tingkat inflasi yang masih terlalu tinggi
6)
Kurs nilai mata uang rupiah yang masih belum stabil
b.
Hambatan dari dalam, diartikan hambatan yang bersal
dari dalam pemerintahan Kabupaten Banyumas, diantaranya:
1)
Keterbatasannya kewenangan pemerintah kabupaten untuk
mengembangkan seluruh potensi yang ada
2)
Belum optimalnya kinerja BUMD untuk menopang PAD
3)
Sistem kerja pegawai yang belum optimal
4)
Masih adanya sistem KKN dalam segala bentuk kebijakan
pemerintah
5)
Kurangnya iklim investasi yang dibuat oleh Pemerintah
Kabupaten
6)
Belum memadainya sistem sarana dan prasarana publik
4.
Usulan untuk peningkatan Pendapatan Asli daerah
Kabupaten Banyumas
Adapun beberapa usulan yang
ditujukan untuk pemerintah kabupaten untuk meningkatkan PAD, diantaranya:
a. Meningkatkan
kemampuan ekonomi masyarakat dari sektor andalan
b. Adanya
keseimbangkan insentif & disinsentif untuk menjamin kepatuhan
c. Mengoptimalkan
peran legislative
d. Meningkatkan
Sfisiensi pelayanan public
e. Kendalikan
KKN dalam sistem pemungutan pajak dan retribusi
f. Meningkatkan
jaminan keadilan bagi wajib pajak/retribusi
g. Adanya
pembedakan kebijakan pajak (tax)
& retribusi (service charge)
secara jelas
h. Meningkatkan
kemampuan administrasi: pendataan, analisis potensi, penetapan, penagihan, keberatan
& dispensasi, pengawasan, penegakan hukum
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu
bentuk wujud nyata yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menunjukkan
kemandirian suatu daerah.
2. Strategi dalam peningkatan Pendapatan Asli
Daerah dapat dilakukan dengan beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
daerah. Diantaranya:
a.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat
b.
Kebijakan dari sisi penciptaan
c.
Kebijakan dari sisi pemberdayaan BUMD
d.
Kebijakan Dari Sisi Penggunaan
3. Agar hambatan yang timbul dalam
peningkatan Pendapatan Asli Daerah dapat diminimalkan maka pemerintah daerah
harus dapat mengoptimalkan pengawasan dari berbagai sektor dalam komposisi PAD.
4. Semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah maka
semakin tinggi tingkat pembangunan daerah.
Daftar Pustaka
Badan Pusat
Statistik Kabupaten Banyumas, Banyumas
Dalam Angka, Tahun 2005 s/d 2011. Kerjasama BPPTAD Kabupaten Banyumas dan
BPS Kabupaten Banyumas
Bahrullah, Akbar. 2002. Fungsi Manajemen Keuangan, Boklet Publikasi
BPK, No.87 Bulan Oktober, Jakarta, BPK.
Dewi, Elita. 2002. Identifikasi
Sumber Pendapatan Asli Daerah dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Jurnal. digitized by USU digital library. Medan
Edison, Henri. H. Panggabean. 2009. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah
Terhadap Belanja Daerah Di Kabupaten Toba. Tesis S2 USU. Medan
Mahmudi. 2010. Manajemen
Keuangan Daerah. Jakarta: Penerbit Erlangga
Mardiasmo. 2004. Otonomi
dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI
__________. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis
Perekonomian Daerah, makalah pada Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis
Moneter Indonesia, 7 Mei , Jakarta.
Maulida, Novi Pratiwi. 2007. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Terhadap Prediksi Belanja Daerah. Skripsi S1 UII. Yogyakarta.
Nogi, Hessel S. Tangkilisan. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Penerbit Grasindo
Solihin, Dadang.
2008. Strategi Menarik Investor dalam rangka Peningkatan PAD. Makalah disampaikan
dalam Seminar DPRD Kota Binjai, Jakarta, 22 Februari 2008
Sunarto
& Soedarsono. 2007. Sistem
Administrasi Keuangan Daerah I. Jakarta: Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Pengawasan BPKP
Supriady.
Deddy. 2004. Otonomi
penyelenggaraaan pemerintahan daerah. Jakarta: Penerbit Gramedia
Republik
Indonesia, Kepmendagri No. 29 Tahun 2000
tentang “Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah
serta Tata Cara Penyusunan APBD
_______________, Peraturan Pemerintah RI No. 65
Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
_______________, Peraturan Pemerintah RI No. 66
Tahun 2000 tentang Retribusi Daerah
_______________, Peraturan Pemerintah RI No. 104
Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
_______________, Peraturan Pemerintah RI No. 58
Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
_______________, Permendagri No.59/2007 tentang
Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah
_______________,
Uindang-Undang RI No. 5 Tahun 1974 Tentang Otonomi Daerah
_______________,
Uindang-Undang RI No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
_______________,
Uindang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah
_______________, Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah
_______________, Undang-Undang RI No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah
________________,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
________________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
________________, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah
________________, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Pajak dan Retribusi