Rabu, 19 Februari 2014

ANALISIS PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN UPAYA PENINGKATANNYA DI KABUPATEN BANYUMAS



Hendri Panggayuh
Jurusan Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana, Universitas Jendral Soedirman


Abstrak
Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula diskresi daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah. Peningkatan PAD tidak hanya menjadi perhatian pihak eksekutif, namun legislatif pun berkepentingan sebab besar kecilnya PAD akan mempengaruhi struktur gaji anggota dewan.
Beberapa usulan yang ditujukan untuk pemerintah kabupaten untuk meningkatkan PAD, diantaranya: Meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat dari sektor andalan, Adanya keseimbangkan insentif & disinsentif untuk menjamin kepatuhan, Mengoptimalkan peran legislative, Meningkatkan Efisiensi pelayanan publik, Kendalikan KKN dalam sistem pemungutan pajak dan retribusi, Meningkatkan jaminan keadilan bagi wajib pajak/retribusi, Adanya pembedakan kebijakan pajak (tax) & retribusi (service charge) secara jelas, dan Meningkatkan kemampuan administrasi: pendataan, analisis potensi, penetapan, penagihan, keberatan & dispensasi, pengawasan, penegakan hukum

Kata kunci: Pendapatan Asli Daerah


Pendahuluan
Sebelum era reformasi harapan pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantuan fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Dikeluarkannya kedua UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan implikasi yang sangat mendasar yang mengarah pada perlu dilakukannya reformasi sektor publik dan dipakainya paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak saja sekedar perubahan format lembaga, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel sehingga cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governance benar-benar tercapai.
Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantuan fiskal terhadap pemerintah pusat. Pemerintah daerah yang selama ini tergantung pada pemberian dana dari pemerintah pusat harus bersiap-siap melakukan strategi pada keuangan daerah dan anggaran daerah. Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan, dan kebijakkan penganggaran yang meliputi pendapatan dan belanja daerah (Nogi, 2005:71), sedangkan anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun) (Mardiasmo, 2004:9).  
Hubungan antara keuangan dan anggaran daerah sangat erat, karena sama-sama merupakan hal terpenting dalam pemutusan suatu instrumen kebijakan. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitanya dengan pengelolaan keuangan daerah pemerintah daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini ditinjau bukan hanya dilihat pada besarannya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga dapat terlihat pada besarannya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan keuangan daerah.
Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula diskresi daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah. Peningkatan PAD tidak hanya menjadi perhatian pihak eksekutif, namun legislatif pun berkepentingan sebab besar kecilnya PAD akan mempengaruhi struktur gaji anggota dewan.
Meskipun pelaksanaan otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak 1 Januari 2001, namun hingga tahun 2009 baru sedikit pemerintah daerah yang mengalami peningkatan kemandirian keuangan daerah secara signifikan. Memang berdasarkan data yang dikeluarkan Departemen Keuangan, secara umum penerimaan PAD pada era otonomi daerah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan era sebelumnya.
Dalam rangka mengoptimalisasikan Pendapatan Asli Daerah, Kabupaten Banyumas juga menjadikan sektor Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai sumber keuangan yang paling diandalkan. Sektor Pajak Daerah tersebut meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C serta Retribusi Daerah yang terdiri: Retribusi Jasa Umum antara lain Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Persampahan, Jasa Usaha dan Retribusi Perijinan tertentu merupakan sektor yang sangat besar untuk digali dan diperluas pengelolaannya.
Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di Daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu Daerah di era Otonomi adalah terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Realitas mengenai rendahnya PAD di sejumlah Daerah pada masa lalu, akhirnya mengkondisikan Daerah untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada bantuan pembiayaan atau subsidi dana dari Pemerintah Pusat. Rendahnya konstribusi pendapatan asli Daerah terhadap pembiayaan Daerah, karena Daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana Pajak dan retribusi yang mampu memenuhi hanya sekitar 20%-30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70%-80% didrop dari pusat .
Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana Pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi Daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah.
Faktor yang amat penting dan mempengaruhi Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas dalam menetapkan target pendapatan asli daerah adalah situasi dan kondisi perekonomian dan politik yang kondusif. Hal ini menjadi penting artinya karena kedua hal ini dapat dikatakan sebagai dua sisi mata uang dan dapat menentukan hitam-putihnya realisasi penerimaan


Permasalahan
Berdasarkan fenomena pada latar belakang maka permasalahan pada makalah ini adalah bagaimana upaya kabupaten Banyumas meningkatkan Pendapatan Asli Daerah?
Landasan Teori
1.    Konsep Keuangan Daerah
a.    Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut: “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menjelaskan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dan tentunya dalam batas-batas kewenangan daerah.
Keuangan daerah dituangkan sepenuhnya kedalam APBD. APBD menurut Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Dalam konteks ini lebih difokuskan kepada pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh DPRD.
b.    Pengawasan Keuangan Daerah
Pengawasan merupakan suatu rangkaian kegiatan pemantauan, pemeriksaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik. Pengawasan dilakukan untuk menjamin semua kebijakan program dan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengawasan keuangan daerah, dalam hal ini adalah pengawasan terhadap anggaran keuangan daerah/APBD. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 42 menjelaskan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.. Berdasarkan dari Undang-Undang tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pengawasan keuangan daerah dilakukan oleh DPRD yang berfokus kepada pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD wujudnya adalah dengan melihat, mendengar, dan mencermati pelaksanaan APBD yang dilakukan oleh SKPD, baik secara langsung maupun berdasarkan informasi yang diberikan oleh konstituen, tanpa masuk ke ranah pengawasan yang bersifat teknis. Apabila ada dugaan penyimpangan, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Memberitahukan kepada Kepala Daerah untuk ditindaklanjuti oleh Satuan Pengawas Internal.
  2. Membentuk pansus untuk mencari informasi yang lebih akurat.
  3. Menyampaikan adanya dugaan penyimpangan kepada instansi penyidik (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK).
Pengawasan anggaran meliputi seluruh siklus anggaran, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pertanggungjawaban. Secara sederhana pengawasan anggaran merupakan proses pengawasan terhadap kesesuaian perencanaan anggaran dan pelaksanaannya dalam melaksanakan pembangunan daerah. Pengawasan terhadap pelaksaanaan perlu dilakukan, hal ini bertujuan untuk memastikan seluruh kebijakan publik yang terkait dengan siklus anggaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berorientasi pada prioritas publik. Namun sebelum sampai pada tahap pelaksanaan, anggota dewan harus mempunyai bekal pengetahuan mengenai anggaran sehingga nanti ketika melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran, anggota dewan telah dapat mendeteksi apakah ada terjadi kebocoran atau penyimpangan alokasi anggaran
2.    Manajemen Keuangan Daerah
a.    Pengertian
Manajemen keuangan daerah merupakan bagian dari Manajemen Pemerintahan Daerah, selain Manajemen Kepegawaian dan manajemen teknis dari tiap-tiap instansi yang berhubungan dengan pelayanan publik, atau kita sebut dengan Manajemen Pelayanan Publik dan Manajemen Administrasi Pembangunan Daerah. Pengertian Manajemen keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar (2002) adalah mencari sumber-sumber pembiayaan dana daerah melalui potensi dan kapabilitas yang terstruktur melalui tahapan perencanaan yang sistematis, penggunaan dana yang efisien dan efektif serta pelaporan tepat waktu.
Manajemen Pelayanan Publik yang dimaksud adalah pencerminan pemberian kewenangan wajib atas otonomi daerah dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari antara lain: Pemerintahan Umum, Pertanian; Perikanan dan Kelautan, Pertambangan dan Energi; Kehutanan dan Perkebunan; Perindustrian dan Perdagangan; Perkoperasian; Penanaman Modal; Ketenagakerjaan; Kesehatan; Pendidikan dan Kebudayaan; Sosial; Penataruangan; Pemukiman; Pekerjaan Umum; Perhubungan; Lingkungan Hidup; Kependudukan; Olahraga; Keparawisataan; dan Pertanahan. Hal ini, biasanya tercermin dengan adanya dinas-dinas daerah dan struktur organisasi Pemda yang berkaitan dengan luas dan ruang lingkup tugas tersebut. Pengertian keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar (2002) adalah “Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran dan pendapatan dan belanja daerah (APBD)”.
Oleh karena itu, pengertian keuangan daerah selalu melekat dengan pengertian APBD yaitu; suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dari definisi keuangan daerah tersebut melekat 4 (empat) dimensi: (1) Adanya dimensi hak dan kewajiban; (2) Adanya dimensi tujuan dan perencanaan; (3) Adanya dimensi penyelenggaraan dan pelayanan publik; dan (4) Adanya dimensi nilai uang dan barang (investasi dan inventarisasi).
Keterkaitan keuangan daerah yang melekat dengan APBD merupakan pernyataan bahwa adanya hubungan antara dana daerah dan dana pusat atau dikenal dengan istilah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dana tersebut terdiri dari dana dekonsentrasi (PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan) dan dana Desentralisasi. Dana dekonsentrasi berbentuk dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Sedangkan yang dimaksud dana desentralisasi adalah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD).
Tujuan keuangan daerah:
1)        Akuntabilitas (Accountability)
Pemda harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain, adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok kepentingan lainnya (LSM);
2)        Memenuhi kewajiban Keuangan
Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang;
3)        Kejujuran
Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai profesional dan jujur, sehingga mengurangi kesempatan untuk berbuat curang.
4)        Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) kegiatan daerah
Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap program direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya serendahrendahnya dengan hasil yang maksimal.
5)        Pengendalian
Manajer keuangan daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau melalui akses informasi mengenai pertanggungjawaban keuangan.
b.    Fungsi Manajemen Keuangan Daerah
Fungsi manajemen terbagi atas tiga tahapan utama, yaitu: adanya proses perencanaan, adanya tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan pengendalian/ pengawasan. Oleh karena itu fungsi manajemen keuangan daerah terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan tugas yang dapat terdiri dari tugas:
1)        Pengalokasian potensi sumber-sumber ekonomi daerah;
2)        Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3)        Tolok ukur kinerja dan Standarisasi;
4)        Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Akuntansi;
5)        Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Kepala Daerah; dan
6)        Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah.
Angka 1 dan 2 merupakan bagian dari fungsi perencanaan dimana melekat pengertian adanya partisipasi publik; Angka 3 dan 4 merupakan fungsi pelaksanaan dan Angka 5 dan 6 merupakan fungsi pengendalian dan pengawasan. Keseluruhannya akan bermuara pada terciptanya sistem informasi keuangan daerah yang transparan dan akuntabel.
Dalam arti sempit manajemen keuangan daerah merupakan tugas kebendaharawanan, dari peran kas daerah atau bendahara umum daerah sampai dengan peran bendaharawan proyek, bendaharawan penerima, bendaharawan barang. Secara garis besarnya, ada dua hal tugas pokok atau bidang yang harus disadari bagi seorang manajer keuangan daerah, yaitu: pekerjaan penganggaran dan pekerjaan akuntansi, dimana dalam pelaksanaan keduanya berinteraksi dan saling melengkapi terutama dalam rangka pengendalian dan pengawasan manajemen (Bidang Auditing). Secara aplikatif dua tugas pokok tersebut terekam dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2000 tentang “Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD”.
c.    Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Secara garis besar, manajemen (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.
Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah menurut UU No. 22 tahun 1999 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda).
Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance budget. Traditional budget merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1)        Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
2)        Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
3)        Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
4)        Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
5)        Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
6)        Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
7)        Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
8)        Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan ’manipulasi anggaran.’
9)        Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.
Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional. Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan manajemen anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientsi pada kepentingan publik. Merupakan kebutuhan masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan mengatur urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah.
3.    Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan ini pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembanguna dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah:  meneliti, menentukan dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal.
a.    Dasar hukum PAD
Seluruh kegiatan dalam Pendapatan Asli Daerah diatur dalam
1)        UU No.32/2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah
2)        UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat-Daerah
3)        UU No.34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
4)        PP No.65/2000 tentang Pajak Daerah
5)        PP No.66/2000 tentang Retribusi Daerah
6)        Permendagri No.59/2007 tentang Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah
b.    Komposisi PAD
Komposisi pendapatan Asli daerah adalah Pajak Daerah, Retribusi, Laba perusahaan daerah, dan pendapatan lain-lain yang sah. Di antara keempat sumber tersebut pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber andalan PAD.
1)        Pajak daerah
Pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk investasi publik. Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan sebagai badan hukum publik dalam rangka membiayai rumah tangganya. Dengan kata lain pajak daerah adalah : pajak yang wewenang pungutannya ada pada daerah.
Halim dalam Edison (2009:34) menyatakan Pajak Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang berasal dari pajak. Lebih lanjut Simanjuntak dalam Edison (2009:34) menyatakan bahwa Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dipungut oleh daerah-daerah seperti propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasil pemungutannya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerahnya masing-masing. Kesit dalam Edison (2009:34) menyatakan bahwa Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang yang berlaku, yang hasilnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Wewenang mengenakan pajak atas penduduk untuk membiayai layanan masyarakat merupakan unsur penting dalam pemerintahan daerah. Diungkapkan oleh Devas et.al dalam Edison, (2009:35) bahwa sistem perpajakan yang dipakai sekarang ini banyak mengandung kelemahan, dan tampaknya bagian terbesar dari pajak daerah lebih banyak menimbulkan beban daripada menghasilkan penerimaan bagi masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu melakukan perubahan sistem pajak daerah merupakan langkah logis untuk langkah berikutnya.
Pembaharuan yang dilakukan pemerintah misalnya dengan diterbitkannya UU No. 34 Tahun 2004 tentang pajak dan retribusi sebagai perubahan UU No. 18 Tahun 1997. Dengan diberlakukannya UU No. 34 Tahun 2004 ini jenis pajak daerah jumlahnya menjadi berkurang. Terakhir pemerintah menerbitkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan tentang pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta pembagian berbagai penerimaan Negara. Davey dalam Edison (2009:35) menjelaskan bahwa keberhasilan dalam mengelola sumber-sumber penerimaan pajak daerah tergantung pada kemampuan pemerintah daerah itu sendiri dalam mengoptimalkan faktor-faktor yang turut menentukan keberhasilan tersebut. Devas et. Al dalam Edison, (2009:36) memberikan penjelasan bahwa kemampuan menghimpun dana adalah perbandingan antara penerimaan dari pajak dengan restribusi atau disebut dengan upaya (tax effort)
Mardiasmo dkk dalam Edison, (2009:36) mengungkapkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pemerintahan pusat, pemerintahan daerah perlu diberikan otonomi dan keleluasan daerah. Langkah penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah adalah dengan menghitung potensi penerimaan pajak daerah yang rill yang dimiliki oleh daerah tersebut, sehingga bisa diketahui peningkatan kapasitas pajak (tax capacity) daerah. Peningkatan kapasitas pajak pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber pendapatan daerah.
Menurut Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 disebutkan bahwa pajak daerah adalah, yang selanjutnya disebut pajak, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembengunan daerah. Pasal 2 ayat (1) dan (2) didalam Undang –Undang nomor 18 tahun 1999 disebutkan bahwa jenis pajak daerah yaitu :
a)         Jenis pajak daerah Tingkat I terdiri dari : Pajak kenderaan bermotor, Bea balik nama kenderaan bermotor, dan Pajak bahan bakar kenderaan bermotor
b)        Jenis pajak dearah Tingkat II terdiri dari : Pajak hotel dan restoran, Pajak hiburan, Pajak reklame, Pajak penerangan jalan, Pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C, dan Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
Selanjutnya pasal 3 ayat (1) dicantumkan tarif pajak paling tinggi dari masing-masing jenis pajak sebagai berikut : Pajak kenderaan bermotor 5 %, Pajak balik nama kenderaan bermotor 10 %, Pajak bahan bakar kenderaan bermotor 5 %, Pajak hotel dan restoran 10 %, Pajak hiburan 35 %, Pajak reklame 25 %, Pajak penerangan jalan 10 %, Pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C, Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan 20 %.
Tarif pajak untuk daerah Tingkat I diatur dengan peraturan pemerintah dan penetepannya seragam diseluruh Indonesia. Sedang untuk daerah Tingkat II, selanjutnya ditetapkan oleh peraturan daerah masing-masing dan peraturan daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut. Memperhatikan sumber pendapatan asli daerah sebagaimana tersebut diatas, terlihat sangat bervariasi.
2)        Retribusi
Pemungutan retribusi dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan, dan biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagai dari biaya pelayanannya. Besarnya retribusi seharusnya (lebih kurang) sama dengan nilai layanan yang diberikan. Menurut Sumitro dalam Edison (2009:36) Retribusi ialah pembayaran pada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa. Lebih lanjut Syamsi dalam Edison  (2009:37) mengatakan bahwa: Retribusi adalah iuran masyarakat tertentu (individu yang bersangkutan) yang ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah yang prestasinya ditunjuk secara langsung, dan pelaksanaannya dapat dipaksakan. Dengan kata lain yang lebih sederhana, retribusi adalah pungutan yang dibebankan kepada seseorang karena menikmati jasa secara langsung. Davey dalam Edison (2009:37) mengatakan bahwa Retribusi merupakan sumber penerimaan yang sudah umum bagi semua bentuk Pemerintahan Regional, restribusi tersebut mungkin juga merupakan sumber utama dari pendapatan badan-badan pembangunan daerah. Sedangkan Redjo dalam Edison (2009:37) berpendapat bahwa retribusi ialah suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan antara balas jasa yang diterima langsung dengan adanya pembayaran retribusi tersebut, misalnya uang langganan air minum, uang langganan listrik dan lain-lain. Koswara (2009:37) menjelaskan bahwa retribusi daerah adalah imbalan atas pemakaian atau manfaat yang diperoleh secara langsung seseorang atau badan atau jasa layanan, pekerjaan, pemakaian barang, atau izin yang diberikan oleh pemerintah daerah. Simanjuntak dalam Edison (2009:37) menyatakan bahwa retribusi daerah merupakan iuran rakyat kepada pemerintah berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan mendapat jasa balik atau kontra prestasi dari pemerintah yang secara langsung ditunjuk Mengenai potensi Retribusi Daerah, Koswara dalam Edison (2009:38) memaparkan bahwa seperti halnya dengan pajak daerah, hanya dengan beberapa jenis retribusi yang secara efektif berperan sebagai sumber pendapatan daerah. Walaupun demikian Devas et. Al dalam Edison, (2009:38) mengatakan bahwa Retribusi merupakan sumber pendapatan yang sangat penting dan hasil retribusi hampir mencapai setengah dari seluruh pendapatan daerah. Dalam dimensi potensi daerah yang demikian itu, pemerintahan daerah hendaknya dapat mengembangkan inisiatif dan upaya untuk meningkatkan penerimaan Retribusi Daerah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara memberikan pelayanan publik secara profesional dan mampu memberikan kepuasan kepada setiap penerimaan pelayanan.
Davey dalam Edison (2009:38) mengungkapkan beberapa pendapat mungkin akan timbul pada elastisitas retribusi yang harus responsive kepada pertumbuhan penduduk dan pendapatan. Hal ini umumnya dipengaruhi oleh pertumbuhan permintaan atau konsumsi akan suatu pelayanan. Dalam konteks yang demikian itu, pengelolaan sumber-sumber PAD dari jenis retribusi tentu mempunyai konsekwensi yang harus dipikirkan oleh pemerintah daerah. Artinya pemerintah daerah tidak boleh memikirkan bagaimana memperoleh pendapatan yang sebesar-besarnya dari pemungutan retribusi, tetapi pemerintah daerah bertanggungjawab atas konsekuensi pemungutan retribusi tersebut.
Sedangkan jenis-jenis retribusi yang diserahkan kepada daerah Tingkat II menurut Kaho berikut ini: Uang leges, Biaya jalan/jembatan/tol, Biaya pangkalan, Biaya penambangan, Biaya potong hewan, Uang muka sewa tanah/bangunan, Uang sempadan dan izin bangunan, Uang pemakaian tanah milik daerah, Biaya penguburan, Biaya pengerukan wc, Retribusi pelelangan uang, Izin perusahaan industri kecil, Retribusi pengujian kenderaan bermotor, Retribusi jembatan timbang, Retribusi stasiun dan taksi, Balai pengobatan, Retribusi reklame, Sewa pesanggrahan, Pengeluaran hasil pertanian, hutan dan laut, Biaya pemeriksaan susu dan lainnya, dan Retribusi tempat rekreasi.
Dari uraian diatas dapat kita lihat pengelompokan retribusi yang meliputi: Retribusi jasa umum, yaitu : retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, dan Retribusi jasa usaha, yaitu : retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya disediakan oleh sektor swasta.
3)        Laba perusahaan daerah
Dalam usaha menggali sumber pendapatan daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu sumber pendapatan asli daerah yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian khusus adalah perusahaan daerah. Menurut Wayang dalam dewi (2004:4) mengenai perusahaan daerah sebagai berikut: Perusahaan Daerah adalah kesatuan produksi yang bersifat: Memberi jasa, Menyelenggarakan pemanfaatan umum, Memupuk pendapatan. Tujuan perusahaan daerah untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan kebutuhan rakyat dengan menggutamakan industrialisasi dan ketentraman serta ketenangan kerja menuju masyarakat yang adil dan makmur. Perusahaan daerah bergerak dalam lapangan yang sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut perundang-undangan yang mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah. Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan mengusai hajat hidup orang banyak di daerah, yang modal untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.
4)        Pendapatan lain-lain yang sah
Jenis lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah sesuai UU No. 33 Tahun 2004 disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang antara lain: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau angsuran/cicilan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagaimana akibat dari penjualan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Pembahasan
1.    Gambaran umum kondisi daerah
Wilayah Kabupaten Banyumas merupakan bagian dari Propinsi Jawa Tengah yang berada di sebelah barat daya propinsi ini. Terletak di antara 108 " 39` 17`` - 109" 27` 15`` bujur timur & di antara  7" 15` 05`` - 7" 37` 10`` lintang selatan, yang berarti berada di belahan selatan garis khatulistiwa.
Batas-batas Kabupaten Banyumas adalah :
Sebelah Utara        :    Gunung Slamet, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang.
Sebelah Selatan      :    Kabupaten Cilacap
Sebelah Barat         :    Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes
Sebelah Timur        :    Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara
Luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2 atau setara dengan 132.759,56 ha, dengan keadaan wilayah antara daratan & pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman & pekarangan, dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak dilereng Gunung Slamet sebelah selatan.
Bumi & kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong potensial karena terdapat pegunungan Slamet dengan ketinggian puncak dari permukaan air laut sekitar 3.400m & masih aktif.  Keadaan cuaca & iklim di Kabupaten Banyumas karena tergolong di belahan selatan khatulistiwa masih memiliki iklim tropis basah. Demikian juga karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari permukaan pantai/lautan maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak, namun dengan adanya dataran rendah yang seimbang dengan pantai selatan angin hampir nampak bersimpangan antara pegunungan dengan lembah dengan tekanan rata-rata antara 1.001 mbs, dengan suhu udara berkisar antara 21,4 derajat C - 30,9 derajat C.
2.    Kemungkinan peningkatan Pendapatan Asli daerah Kabupaten Banyumas
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyumas dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, tetapi Perananya terhadap APBD masih tergolong kecil. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Banyumas terhadap APBD-nya, dalam kurun waktu lima tahun anggaran terakhir (2005 s/d 2009), digambarkan pada tabel 1 dibawah ini :
Tabel 1
Peranan PAD terhadap APBD Kabupaten Banyumas Tahun Anggaran 2005 s/d 2009
No
Tahun Anggaran
PAD (Rp)
APBD (Rp)
Persentase
1.
2005
37.499.524.000
396.650.205.411,00
7,47 %
2.
2006
38.897.109.000
460.232.323.000,00
8,45 %
3.
2007
43.279.254.000
496.815.803.215,00
8,71 %
4.
2008
52.983.604.900
536.408.614.255,00
9,9 %
5.
2009
68.835.633.400
759.020.071.390,00
9 %
Rata – rata
8,7 %
  Sumber: BPS Kab. Banyumas, 2009
Terlihat pada tabel diatas peranan PAD terhadap APBD masih tergolong kecil yaitu kurang dari 10%. Tabel 1 memperlihatkan peranan PAD yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jika di TA 2005 persentase 7,47% atau sebesar Rp37.499.524.000,- hingga 9,9% pada TA 2008, tetapi untuk TA 2009 terdapat penurunan sebesar 0,9% menjadi 9,9%.
Untuk TA 2011 bersumber dari APBD 2011  dapat diuraikan bahwa besaran PAD Rp172.488.000.000,- terdiri dari Rp38.106.000.000,- yang berasal dari pajak daerah, Rp39.106.000.000,- berasal dari retribusi daerah, Rp6.670.000.000, dan Rp88.045.000.000,- berasal dari lain-lain pendapatan yang sah. Hal ini berarti sumbangan pajak terhadap APBD Kabupaten Banyumas tahun 2011 mencapai 70%, Pendapatan dari sektor pajak tersebut digunakan untuk pembayaran gaji PNS, TNI, dan POLRI, pembangunan sarana pelayanan umum (puskesmas, pasar, jalan), program pengentasan kemiskinan dan lain-lain. Dengan melihat PAD dari tahun ke tahun dapat disimpulkan bahwa pemerintah Kabupaten Banyumas sudah memperlihatkan kinerjanya untuk meningkatkan PAD dari beberapa sektor seperti pajak daerah maupun retribusi daerah.
Adapun beberapa alternative untuk menunjang peningkatan PAD yang biasa dilakukan oleh beberapa kabupaten di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.    Intensifikasi dan Ekstensifikasi PAD
Dalam lima tahun mendatang, kemampuan keuangan Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia akan ditingkatkan dengan mengandalkan pada Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan retribusi dan Pajak Daerah. Namun demikian, kekuatan pembaharuan yang diajukan sebagai strategi barunya adalah pada aksentuasi manajemen pengelolaan dan audit kinerjanya.
b.    Pengembangan Kerjasama dalam Menggali PAD
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan di Daerah, akan dikembangkan strategi baru yang tidak semata berorientasi pada intensifikasi maupun ekstensifikasi retribusi dan Pajak Daerah.
c.    Pembentukan Perseroan Daerah
Strategi ketiga pengembangan kemampuan keuangan Daerah ialah dilakukan dengan memformulasikan regulasi-regulasi ekonomi baru terutama mengarah pada pembentukan berbagai perseroan Daerah serta merevitalisasi badan usaha Daerah yang sudah ada.
d.   Penerbitan Obligasi dan Pinjaman Daerah
Disamping strategi konvensional pemungutan retribusi dan Pajak Daerah, kemampuan keuangan Daerah akan dikembangkan melalui bursa obligasi Daerah (Municipal Bond).
e.    Kebijakan Umum Anggaran
Kebijakan umum penganggaran yang dicanangkan Pemerintah derah untuk lima tahun ke depan ditujukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem penganggaran Daerah sesuai dengan Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Strategi yang lain untuk meningkatkan PAD dapat dilihat dari suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti yang ditulis oleh Norhayati dalam blognya menjelaskan beberapa kebijakan yang dimaksud, diantaranya:
a.    Kebijakan dari Pemerintah Pusat
Dari beberapa gambaran kondisi elemen pembentuk PAD di Indonesia seperti yang diuraikan di atas, sekiranya harapan di era otonomi untuk mencapai kemandirin daerah ternyata masih merupakan mimpi indah yang masih harus dibangun kembali oleh bangsa Indonesia. Banyak realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa daerah seperti kebingungan di dalam menyikapi tuntutan otonomi. Filosofi dasar otonomi untuk mendekatkan pelayanan kepada tingkat pemerintahan paling bawah justru disikapi sebaliknya. Untuk beberapa daerah yang terbilang siap secara sumber daya alam maupun sumber daya manusia, otonomi benar – benar menjadi arena pembuktian bahwasanya mereka sanggup untuk mengelola daerahnya sendiri dengan mengurangi campur tangan pusat. Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di Indonesia belum memiliki prasyarat kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka justru tenggelam di dalam euforia otonomi itu sendiri.
Banyak kebijakan yang bersifat merugikan dan sangat prematur hanya demi mengejar otonomi versi mereka. Karenanya peran pusat dirasa masih sangat diperlukan dewasa ini. Hanya saja ada beberapa elaborasi dan penyesuaian di beberapa aspek sehingga peran pemerintah itu nantinya juga tetap berada dikoridor hukum, selaras dengan napas otonomi daerah. Peran tersebut antara lain berupa penciptaan kondisi yang kondusif bagi perkembangan pajak dan retribusi dengan tetap memperhatikan landasan hukum yang sudah disepakati bersama. Kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah pusat dapat dibagi menjadi kebijakan dari sisi penciptaan pajak baik ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak dan retribusi serta kebijakan dari sisi penggunaannya.
b.    Kebijakan dari sisi penciptaan
Penyerahan beberapa pajak dan retribusi yang masih dipegang oleh Pusat kepada Daerah dengan tetap mempertimbangkan faktor efisiensi ekonomi, mobilitas obyek pajak serta fungsi stabilitasi dan distribusi pajak itu sendiri. Adapun pajak-pajak tersebut antara lain: PBB dan BPHTB dapat dialihkan ke Daerah dimana Daerah diberi wewenang untuk menetapkan dasar penggenaan pajak dan tarif sampai batas tertentu meskipun adminstrasinya masih dilakukan oleh Pusat, dan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi yang sekarang dibagi hasilkan, dapat dialihkan dalam bentuk piggy back dimana Daerah seyogyanya diberikan wewenang untuk mengenakan opsen sampai batas tertentu di bawah wewenang penuh Pemerintah Kab/Kota.
Memberikan batas toleransi maksimum terhadap pembatalan penciptaan pajak dan retribusi baru oleh Daerah selama kurun waktu tertentu. Misalnya jika selama 1 tahun Daerah telah mencapai batas toleransi jumlah Perda yang dibatalkan maka Daerah tersebut tidak dapat mengajukan permohonan Perda penciptaan pajak dan retribusi baru. Ini juga terkait dengan usulan revisi UU No. 34 tahun 2000 butir yang memberikan kesempatan Daerah untuk menciptakan jenis pajak dan retribusi baru.
Memperluas basis penerimaan pajak melalui identifikasi pembayar pajak baru/potensial serta meningkatkan efisiensi dan penekanan biaya pemungutan. Diharapkan biaya pengenaan pajak jangan sampai melebihi dana yang dapat diserap dari pajak itu sendiri.
c.    Kebijakan dari sisi pemberdayaan BUMD
Pemberdayaan BUMD sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan daerah dapat ditempuh melalui strategi:
Reformasi Misi BUMD :
1)        BUMD sebagai salah satu pelaku ekonomi daerah dapat mendayagunakan aset daerah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat;
2)        BUMD adalah penyedia pelayanan umum yang menjaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas pelayanan;
3)        BUMD mampu berperan sebagai pendukung perekonomian daerah dengan memberikan kontribusi kepada APBD, baik dalam bentuk pajak maupun deviden dan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah melalui multiplier effect yang tercipta dari kegiatan bisnis yang efisien seperti bertambahnya lapangan kerja dan kepedulian sosial;
4)        BUMD mampu berperan sebagai countervailing power terhadap kekuatan ekonomi yang ada melalui pola kemitraan. Diharapkan berbagai perusahaan swasta dalam dan luar negeri berminat melakukan kerjasama dengan BUMD terpilih untuk selanjutnya membentuk Joint Venture/Joint Operation Company (JV/OC).
Restrukturisasi BUMD
Langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan kesehatan BUMD, yaitu tindakan yang ditujukan untuk membuat setiap BUMD menghasilkan laba termasuk mengubah mekanisme pengendalian oleh Pemerintah Daerah yang semula kontrol secara langsung melalui berbagai bentuk perizinan, aturan, dan petunjuk menjadi kontrol yang berorientasi kepada hasil. Artinya Pemerintah Daerah selaku pemegang saham hanya menentukan target kuantitatif dan kualitatif yang menjadi performance indicator yang harus dicapai oleh manajemen, misalnya Return On Equity (ROE) tertentu yang didasarkan kepada benchmarking kinerja yang sesuai dengan perusahaan sejenis;Pengkajian secara komprehensif terhadap keberadaan BUMD, karena selama ini BUMD dianggap kurang tepat bila disebut sebagai lembaga korporasi, khususnya, dikaitkan dengan upaya pemberdayaan BUMD agar dapat menjadi salah satu sumber keuangan daerah;
Restrukturisasi BUMD dengan prinsip Good Corporate Governance dapat dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok yaitu :
1)        Kelompok BUMD PDAM dimana tersedia berbagai pilihan restrukturisasi Perusahaan yang dapat dilakukan tergantung permasalahan yang dihadapi dan potensi yang tersedia;
2)        Kelompok BUMD Non PDAM, dapat diselesaikan secara kasus per kasus dengan berbagai pilihan sesuai dengan visi pengelolaan BUMD yang bersangkutan.
Profitisasi BUMD
Profitisasi BUMD dalam rangka menghasilkan keuntungan atau laba serta memberikan kontribusi pada Pemerintah Daerah yaitu dapat dilakukan sebagai berikut :
1)        Melakukan proses penyehatan perusahaan secara menyeluruh dengan meningkatkan kompetensi manajemen dan kualitas Sumber Daya Manusia;
2)        Mengarahkan BUMD untuk dapat berbisnis secara terfokus dan terspesialisasi dengan pengelolaan yang bersih, transparan dan professional;
3)        Bagi BUMD yang misi utama untuk pelayanan publik dan pelayanan sosial, diberikan sasaran kuantitatif dan kualitatif tertentu;
4)        Memberdayakan Direksi dan Badan Pengawas yang dipilih dan bekerja berdasarkan profesionalisme melalui proses fit and proper test;
5)        Merumuskan kebijakan yang diarahkan kepada tarif yang wajar, kenaikan harga produk (minimal menyesuaikan dengan inflasi, tarif listrik, BBM, dan lain-lain) untuk menghindarkan biaya produksi yang jauh lebih mahal, sehingga profit dapat diraih.
Privatisasi BUMD
Privatisasi utamanya bertujuan agar BUMD terbebaskan dari intervensi langsung birokrasi dan dapat mewujudkan pengelolaan bisnis yang efisien, profesional dan transparan. Diharapkan setelah melalui tahapan restrukturisasi, pihak perusahaan swasta akan berminat mengembangkan usaha dengan cara melakukan aliansi strategis dengan BUMD, dan bila memungkinkan untuk BUMD yang sehat dan memiliki prospek bisnis dapat menawarkan penjualan saham melalui Pasar Modal yang didahului Initial Public Offering (IPO). Penataan dan penyehatan BUMD yang usahanya bersinggungan dengan kepentingan umum dan bergerak dalam penyediaan fasilitas publik ditujukan agar pengelolaan usahanya menjadi lebih efisien, transparan, profesional. Hubungan kemitraan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta, dan BUMD, serta antara usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional. Bagi BUMD yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk privatisasi melalui pasar modal.
BUMD infrastruktur tentunya harus dikelola secara profesional sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan dan mampu menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan berbagai pihak operator swasta dan Pemerintah Daerah. Aliansi Stragis dengan operator swasta sangat dibutuhkan untuk mengisi peluang usaha telekomunikasi yang kompetitif pada segmen pasar tertentu. Sebagai konsekuensi logis implementasi otonomi daerah, maka peranan Pemerintah Daerah sebagai salah satu stakeholder mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam penentuan arah kebijakan publik di daerahnya. Untuk itu perlu dikaji lebih mendalam pengembangan kerjasama Pemerintah Daerah dengan pihak swasta, baik langsung maupun melalui BUMD dalam dalam rangka menjalin hubungan kemitraan yang saling menguntungkan. Untuk memelihara sense of belonging, daerah/BUMD dan masyarakat dapat diberi peluang untuk memiliki sebagian saham BUMN tertentu yang berusaha di daerahnya sehingga merasa ikut memiliki dan turut bertanggung jawab atas keberhasilan usahanya. Dalam upaya optimalisasi sumber-sumber pembiayaan dan investasi bagi daerah otonom, diperlukan dukungan pemerintah dalam berbagai bentuk pembinaan dan pengawasan di berbagai bidang.
d.   Kebijakan Dari Sisi Penggunaan
1)        Meningkatkan mekanisme kontrol dari masyarakat dan LSM terhadap pelaksanaan pengelolaan keuangan Daerah sebagai wujud nyata pelaksanaan asas transparansi dan akuntabilitas fiskal.
2)        Memberikan arahan yang jelas tentang alokasi anggaran terhadap sumber - sumber penerimaan baik PAD maupun transfer pusat. Adapun peran pusat hanya sekedar memberikan arahan tentang hal yang seyogyanya dilakukan oleh Daerah. Semua keputusan tentang mekanisme pelaksanaan alokasi anggaran sepenuhnya menjadi kewenangan daerah sesuai dengan nafas otonomi itu sendiri. Adapun aturan alokasi tersebut misalnya: PAD sampai prosentase tertentu digunakan untuk pembayaran gaji pokok aparat Daerah dengan memberikan standar yang sama di seluruh Indonesia. Untuk beberapa Daerah yang memiliki PAD tinggi dan kelebihan setelah digunakan untuk pembayaran gaji pokok dapat dimanfaatkan sebagai kekayaan Daerah. Sementara DAU yang diterima sampai prosentase tertentu digunakan untuk dana operasional (tunjangan) aparat Daerah, pelayanan publik yang bersifat intangible serta proyek pembangunan jangka pendek. Sementara DAK diarahkan untuk mensukseskan program nasional yang bersifat prioritas serta pencapaian Standar Pelayanan Minimal di masing-masing Daerah. Sementara untuk proyek pembangunan Daerah jangka panjang diarahkan pada sumber dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan melalui Propinsi dan Menteri Teknis.
3.    Hambatan dalam meningkatkan Pendapatan Asli daerah Kabupaten Banyumas
Dalam prosesnya strategi peningkatan PAD masih terdapat beberapa hambatan, diantaranya:
a.    Hambatan dari luar, diartikan hambatan yang berasal dari luar pemerintahan Kabupaten Banyumas, diantaranya:
1)        Peraturan Perundang-undangan yang masih belum berpihak pada pemerintah daerah.
2)        Masih adanya efek dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia
3)        Belum stabilnya sistem sosial politik yang ada
4)        Keseimbangan jumlah penduduk
5)        Tingkat inflasi yang masih terlalu tinggi
6)        Kurs nilai mata uang rupiah yang masih belum stabil
b.    Hambatan dari dalam, diartikan hambatan yang bersal dari dalam pemerintahan Kabupaten Banyumas, diantaranya:
1)        Keterbatasannya kewenangan pemerintah kabupaten untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada
2)        Belum optimalnya kinerja BUMD untuk menopang PAD
3)        Sistem kerja pegawai yang belum optimal
4)        Masih adanya sistem KKN dalam segala bentuk kebijakan pemerintah
5)        Kurangnya iklim investasi yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten
6)        Belum memadainya sistem sarana dan prasarana publik
4.    Usulan untuk peningkatan Pendapatan Asli daerah Kabupaten Banyumas
Adapun beberapa usulan yang ditujukan untuk pemerintah kabupaten untuk meningkatkan PAD, diantaranya:
a.    Meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat dari sektor andalan
b.    Adanya keseimbangkan insentif & disinsentif untuk menjamin kepatuhan
c.    Mengoptimalkan peran legislative
d.   Meningkatkan Sfisiensi pelayanan public
e.    Kendalikan KKN dalam sistem pemungutan pajak dan retribusi
f.     Meningkatkan jaminan keadilan bagi wajib pajak/retribusi
g.    Adanya pembedakan kebijakan pajak (tax) & retribusi (service charge) secara jelas
h.    Meningkatkan kemampuan administrasi: pendataan, analisis potensi, penetapan, penagihan, keberatan & dispensasi, pengawasan, penegakan hukum
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1.    Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu bentuk wujud nyata yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menunjukkan kemandirian suatu daerah.
2.    Strategi dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah dapat dilakukan dengan beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Diantaranya:
a.    Kebijakan dari Pemerintah Pusat
b.    Kebijakan dari sisi penciptaan
c.    Kebijakan dari sisi pemberdayaan BUMD
d.   Kebijakan Dari Sisi Penggunaan
3.    Agar hambatan yang timbul dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah dapat diminimalkan maka pemerintah daerah harus dapat mengoptimalkan pengawasan dari berbagai sektor dalam komposisi PAD.
4.    Semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah maka semakin tinggi tingkat pembangunan daerah.

Daftar Pustaka
Ahira, Anne. 2011. 8 Prinsip Manajemen Keuangan Daerah. (on-line), http://www.anneahira.com/manajemen-keuangan-daerah.htm. diakses 03 Februari 2012

Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, Banyumas Dalam Angka, Tahun 2005 s/d 2011. Kerjasama BPPTAD Kabupaten Banyumas dan BPS Kabupaten Banyumas

Bahrullah, Akbar. 2002. Fungsi Manajemen Keuangan, Boklet Publikasi BPK, No.87 Bulan Oktober, Jakarta, BPK.

Dewi, Elita. 2002. Identifikasi Sumber Pendapatan Asli Daerah dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal. digitized by USU digital library. Medan

Edison, Henri. H. Panggabean. 2009. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah  Terhadap Belanja Daerah Di Kabupaten Toba. Tesis S2 USU. Medan


Mahendras. 2010. Fungsi Retribusi dalam Meningkatkan PAD. (on-line). http://mahenraz.wordpress.com/2010/07/14/fungsi-retribusi-dalam-meningkatkan-pad/. Diakses 03 Februari 2012

Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta: Penerbit Erlangga

Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI

__________. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah, makalah pada Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia, 7 Mei , Jakarta.

Maulida, Novi Pratiwi. 2007. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah. Skripsi S1 UII. Yogyakarta.

Nafisa, Nabi. 2008. Reformasi Manajemen Keuangan Daerah, Suatu Pengantar. (on-line), http://abinafisa.wordpress.com/2008/09/09/reformasi-manajemen-keuangan-daerah-suatu-pengantar/. Diakses 03 Februari 2012

Nogi, Hessel S. Tangkilisan. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Penerbit Grasindo

Norhayati, Atik. 2011. Strategi Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. (On-line), http://www.asrori.com/2011/05/strategi-meningkatkan-pendapatan-asli.html. diakses 05 Februari 2012

Prodjoharjono, Soepomo. 2008. Konsep Keuangan Daerah. (on-line), http://pomphy.blogspot.com/2008/11/konsep-keuangan-daerah.html diakses 29 Januari 2012.

Satria. 2011. Konsep Pendapatan Asli Daerah (PAD). (on-line). http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2177328-konsep-pendapatan-asli-daerah-pad/. Diakses 04 Februari 2012

Solihin, Dadang. 2008. Strategi Menarik Investor dalam rangka Peningkatan PAD. Makalah disampaikan dalam Seminar DPRD Kota Binjai, Jakarta, 22 Februari 2008

Sunarto & Soedarsono. 2007. Sistem Administrasi Keuangan Daerah I. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP

Supriady. Deddy. 2004. Otonomi penyelenggaraaan pemerintahan daerah. Jakarta: Penerbit Gramedia

Republik Indonesia, Kepmendagri No. 29 Tahun 2000 tentang “Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD

_______________, Peraturan Pemerintah RI No. 65 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah

_______________, Peraturan Pemerintah RI No. 66 Tahun 2000 tentang Retribusi Daerah

_______________, Peraturan Pemerintah RI No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan

_______________, Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

_______________, Permendagri No.59/2007 tentang Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah

_______________,  Uindang-Undang RI No. 5 Tahun 1974 Tentang Otonomi Daerah

_______________,  Uindang-Undang RI No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

_______________,  Uindang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah

_______________,  Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

_______________,  Undang-Undang RI No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah

________________, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

________________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

________________, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah

________________, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak dan Retribusi









2 komentar: